Kebijakan Pemerintah dan Ketimpangan Pembangunan

Israr Iskandar, pengajar sejarah dan politik Universitas Andalas Padang

(Dimuat di Padang Ekspres, 18 Februari 2011)

Salah satu masalah nasional yang tak kunjung terselesaikan hingga saat ini adalah ketimpangan distribusi pembangunan antarwilayah, khususnya antara Jawa dan Luar Jawa. Kesenjangan itu tercermin dari penyebaran sumber daya manusia, industri, perdagangan dan jasa, infrastruktur, irigasi, listrik, pendidikan dan bahkan sektor pertanian.

Sektor industri hingga kini 80 persennya  masih berada di Jawa.  Tentu juga sektor perdagangan dan jasa. Berkembangnya kegiatan ekonomi di Jawa-Bali ditunjang infrastruktur yang relatif lebih baik, seperti jalan raya, pelabuhan dan bandara serta ketersediaan energi listrik. Jawa masih menjadi episentrum ekonomi nasional yang secara simbolik terlihat dari pertumbuhan sektor finansial.

Sekalipun sudah otonomi daerah, ketimpangan pendidikan Jawa-luar Jawa tetap lebar. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas terbaik umumnya berada di Jawa.  Jangan heran setiap tahun terjadi gelombang “migrasi” SDM-SDM terbaik (“brain drain”) yang dimulai saat anak-anak unggul dari luar Jawa memilih masuk ke universitas-universitas di Jawa dan umumnya enggan kembali ke daerah asalnya.

 

Warisan sejarah

Ketimpangan Jawa-luar Jawa di berbagai bidang merupakan “hilir” corak pembangunan warisan kolonial. Pemerintah kolonial Belanda menjadikan Jawa sebagai episentrum pemerintahan dan  ekonomi Hindia Belanda sejak awal abad 18, tapi pemerintahan Indonesia merdeka tidak melakukan rekonstruksi dan koreksi menyeluruh terhadap paradigma pembangunan kolonial itu.

Pemerintahan Orde Baru (1966-1998) yang  ditopang stabilitas politik dan pinjaman modal besar dari luar negeri sebenarnya memiliki kesempatan menciptakan ekuilibrium pembangunan nasional. Sayangnya pemerintahan Orde Baru terjebak pada model ekonomi pertumbuhan, tapi abai pada aspek pemerataan, baik pemerataan antargolongan maupun antarwilayah. Investasi di Jawa terus dipacu, tapi tanpa diikuti akselerasi pembangunan di daerah lain, khususnya di bagian timur Indonesia.

Pada konteks tertentu, ihwal terkonsentrasinya pembangunan di Jawa barangkali bisa dipahami terkait ketersediaan SDM, kondisi alam pulau Jawa yang memungkinkan, infrastruktur yang sudah diwariskan kolonial dan jumlah populasi yang besar. Sekalipun luasnya hanya 7 persen dari seluruh wilayah daratan negara, tapi pulau Jawa didiami 60 persen penduduk Indonesia.

Kebijakan pembangunan yang justru memperlebar kesenjangan antarwilayah itu telah membawa implikasi berlapis-lapis. Kebijakan pertumbuhan minus pemerataan bahkan menimbulkan berbagai dilema dalam pembangunan nasional di kemudian hari. Berbagai program pemerintah tak berjalan optimal bahkan gagal, karena tak ditopang kebijakan di sektor terkait lainnya.

Transmigrasi, pengentasan kemiskinan, pembangunan daerah tertinggal dan perbatasan, swasembada pangan, maritim, dan sistem transportasi nasional merupakan beberapa contoh program yang tak bisa berjalan optimal, karena tak didukung keseimbangan pembangunan infrastruktur, SDM (pendidikan) dan distribusi modal antara Jawa dan luar Jawa.

Ketimpangan ini akhirnya juga menyisakan banyak masalah pembangunan di Jawa, yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi “bom” yang meruntuhkan sendi-sendi pembangunan negara.  Konsentrasi pembangunan di Jawa bakal memunculkan komplikasi pada masalah lingkungan, ketersediaan pangan, kemiskinan, dan tentu saja berbagai masalah politik dan sosial lainnya.  Padahal, di sisi lain (seperti dikatakan sebagian ekonom), secara umum, pertumbuhan  yang terjadi saat ini juga tak bertumpu pada sektor riil, sehingga gagal mengatasi kemiskinan dan pengangguran.

Ke depan harus ada perubahan atau koreksi mendasar terhadap paradigma pembangunan nasional yang selama ini justru melestarikan pelbagai ketimpangan. Sejarah Indonesia kontemporer menunjukkan, pertumbuhan tanpa memperhatikan aspek pemerataan, termasuk pemerataan distribusi antarwilayah, dan sektor riil, akan menyulitkan bangsa ini keluar dari berbagai bentuk krisis dan jerat pembangunan di masa mendatang.

Beberapa waktu lalu muncul wacana pemindahan ibukota negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan. Salah satu pemrakarsanya adalah Tim Visi Indonesia 2033, yang dibentuk sejumlah akademisi beberapa universitas di Jawa. Ditinjau dari berbagai aspek, termasuk aspek strategis, ide relokasi ibukota negara ke luar Jawa ini tentu progresif dibandingkan jika hanya memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah di sekitar Jakarta atau daerah lainnya di Jawa.

Pembangunan episentrum baru di luar Jawa itu diharapkan bisa menjadi katalisator distribusi pembangunan yang relatif lebih merata ke luar Jawa, khususnya kawasan Indonesia timur, sekaligus mengurangi beban Pulau Jawa yang sudah sedemikian berat, akibat kepadatan penduduk, kerusakan lingkungan dan daya dukung alam yang kian berkurang.

Tinggalkan komentar