Koalisi, Kolusi dan Kepentingan Rakyat

Israr Iskandar, pengajar sejarah politik Universitas Andalas

(Dimuat di HALUAN, 4 Maret 2011)

Belakangan ini gonjang-ganjing politik terfokus pada masalah prospek koalisi pemerintahan yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden sendiri sudah mengingatkan dan memberikan sinyal akan mengevaluasi keberadaan beberapa partai peserta koalisi, khususnya Partai Golkar dan PKS. Kedua partai ini dianggap mengingkari butir-butir konsensus koalisi yang dulu mereka teken dan sepakati dengan SBY.

Reaksi keras SBY atas Golkar dan PKS tentu saja tak terlepas dari sikap kedua parpol yang mengusulkan hak angket pajak beberapa waktu lalu. Meskipun usulan itu kandas, tapi nampaknya SBY tetap geram dengan “inkosistensi” kedua parpol. SBY dan Demokrat sedikit diuntungkan,  karena Gerindra yang selama ini dikenal kritis pada pemerintah justru menolak usulan angket.

Gonjang-ganjing politik seputar kaolisi ini praktis menyita perhatian publik. Ironisnya, isu mafia pajak itu sendiri justru tenggelam.  Kelompok pro maupun kontra angket berseteru sekitar “cara penyelesaian” kasus mafia pajak, khususnya terkait keterlibatan 150-an perusahaan. Masalahnya, apakah masalah kasus mafia pajak tersebut bisa dituntaskan segera?

Kalau koalisi dirombak, bagaimanakah dampaknya terhadap kepentingan rakyat, khususnya terkait pemberantasan korupsi? Kalau koalisi pro-SBY dipertahankan, apakah juga akan membawa pengaruh pada perjuangan untuk kepentingan rakyat? Inilah antara lain pertanyaan fundamental yang mesti dijawab elit politik, termasuk SBY, yang kini berhasil “mengalihkan” perhatian publik pada isu bongkar pasang koalisi.

 

Koalisi dan kolusi

Dalam konteks sejarah Indonesia, koalisi bukanlah hal baru. Pada awal kemerdekaan dan dekade 1950-an, koalisi membentuk pemerintahan merupakan gejala lazim. Maklum dalam sistem demokrasi parlementer saat itu, tidak ada partai yang dominan yang leluasa membentuk dan menjaga stabilitas  pemerintahan. Bahkan pada dekade 1950-an, dua parpol besar, PNI dan Masyumi, pun pernah melakukan koalisi, sekalipun pada saat lain keduanya terlibat persaingan amat keras.

Pada masa itu, koalisi memang tetap lebih banyak didasari kepentingan taktis dan pragmatis, termasuk menjaga stabilitas pemerintahan, sekalipun kenyataannya tidak demikian (labil), termasuk saat PNI-Masjumi berkoalisi. Perbedaan idiologis dan kepentingan sempit elit parpol ditenggarai telah menjadi penyebab utama koalisi yang dibangun mudah retak. Di pihak lain, sikap oposisional dari partai oposisi juga amat keras. Kenyatannya ini ikut menjadi penyebab pemerintahan masa ini sering jatuh bangun. (Feith, 1960)

Memasuki era “Demokrasi Terpimpin” ( 1959-1966) yang otoriter, istilah koalisi tentu tak lagi lazim. Begitu juga era Orde Baru (1966-1998). Kedua rezim malah menempatkan era 1950-an sebagai salah satu periode “gelap” dari sejarah Indonesia, khususnya  terkait  kabinet parlementer yang kerap jatuh bangun, konflik idiologis, persaingan keras elit politik hingga maraknya pergolakan daerah.

Barulah di era reformasi, istilah koalisi dipakaikan lagi, sekalipun Indonesia menganut sistem presidensial. Bahkan ketika sistem ini kian “disempurnakan”, koalisi seakan menjadi kenyataan politik yang niscaya, baik koalisi yang tergabung dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Banyak kalangan ahli melihat istilah dan praktik “koalisi” dan juga “oposisi” dalam sistem presidensial salah kaprah.

Apapun, semua dinamika politik saat ini mestinya mengarah pada kepentingan rakyat. Jangan sampai kerjasama politik dimaksud justru kian menguatkan sinyelemen bahwa koalisi tak lebih manifestasi politik transaksional alias kolusi berorientasi kepentingan oligarki.  Celakanya, gelagat yang terlihat, genderang politik yang kini ditabuh kaum elit justru kian menenggelamkan urusan kepentingan rakyat. Tenggelamnya isu mafia pajak ditimpa isu perombakan koalisi seakan mewakili  kekhawatiran terhadap prospek penyelesaian pelbagai skandal megakorupsi lainnya.

 

 

Tinggalkan komentar