Pers Lokal, Demokrasi dan Tirani Modal

Israr Iskandar, mengajar sejarah dan politik di Universitas Andalas

Walaupun demokratisasi lokal dianggap mengalami kemajuan signifikan dalam 10 tahun terakhir, seperti tercermin dari kesuksesan berbagai pilkada langsung, namun sejumlah distorsi mesti dicermati lagi secara kritis. Salah satunya terkait tendensi sebagian pers lokal yang belum berfungsi optimal, karena terjebak pragmatisme atas nama kepentingan bisnis.

Kebebasan pers yang turut menandai perubahan politik pasca-Orde Baru tidak otomatis diikuti kehadiran pers lokal yang berdedikasi penuh bagi peningkatan kualitas demokrasi di daerah. Tendensi itu ikut menyambung siklus distorsi politik lokal, yang juga melibatkan pilar-pilar demokrasi lain, seperti DPRD, kepala daerah, pejabat birokrasi, dan partai politik.

Jangan heran, sebagian publik tetap pesimis dengan realisasi kebijakan desentralisasi maupun demokratisasi lokal, karena dirasakan belum meningkatkan mutu pelayanan publik dan taraf kehidupan mereka.

Sejatinya demokratisasi dan desentralisasi menjadi peluang bagi perbaikan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Apalagi mengingat, pemda dan pejabat lokal (dibandingkan pemerintah pusat) merupakan representasi negara yang lebih dekat dengan rakyat daerah. Kalau demokratisasi di daerah tak sempurna jalannya, implikasi buruknya akan dirasakan rakyat di daerah.

Sekalipun masyarakat politik kita tak bisa lagi menafikan eksistensi media, namun masyarakat mesti memahami realitas media yang berkembang. Media terasa berfaedah bagi rakyat kalau menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan baik. Pers juga bisa menjadi salah satu sarana artikulasi kepentingan publik. Sebaliknya, jika pers “manut” tanpa reserve atau diam kepada kuasa politik dan kuasa modal yang hegemonik, pers sejatinya sudah mengingkari amanat rakyat.

Lewat pers, publik mestinya bisa menyalurkan aspirasinya. Publik juga berhak atas informasi yang benar dan berimbang dari media massa, misalnya terkait kinerja pejabat pemerintahan maupun institusi publik lainnya. Pers menggali dan kemudian menginformasikan kepada masyarakat perihal plus minus kinerja institusi/pejabat publik maupun jejak rekam calon pejabat publik, seperti calon kepala daerah dan anggota legislatif. Informasi yang disajikan media itu menjadi dasar bagi masyarakat untuk menilai kinerja pejabat maupun calon pejabat publik.

Masalahnya, sebagian pers lokal dewasa ini tetap berpotensi menghamba kuasa politik sekaligus kuasa modal. Ini seakan membenarkan adagium, bahwa modal telah menjadi “kekuasaan yang bergerak” (mobile power). Tirani modal, tidak hanya menghegemoni lembaga-lembaga formal demokrasi, seperti parlemen dan partai politik, tetapi juga elemen masyarakat sipil, seperti media massa.

Celakanya, kenyataan di banyak daerah, pertumbuhan pers tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi daerah. Di kota Padang saja, misalnya, setidaknya ada 5 harian, 4 stasiun televisi lokal, dan puluhan surat kabar mingguan. Belum lagi, fenomena surat kabar kuning, yang digunakan untuk memeras nara sumber tertentu.

Di sejumlah daerah, pers lokal amat menggantungkan hidupnya pada langganan ratusan eksemplar dari kantor-kantor pemerintahan serta berharap iklan-iklan pelantikan pejabat. Pers lokal sebagian juga berharap dan menjual rubrik-rubriknya sebagai saluran komunikasi, informasi dan propaganda bagi pemda, pejabat publik, politisi, dan lembaga publik.

Ironisnya, pragmatisme media itu juga membuat elemen masyarakat sipil lain menjadi lemah. Kaum intelektual (misalnya), yang sejatinya aktif menyuarakan kebenaran dan membela kepentingan publik, tidak mendapat tempat yang layak di media semacam itu. Dalam banyak kasus, pers lokal mendahulukan kepentingan “sponsor” (kuasa politik dan kuasa modal) tertentu. Suara kaum cerdik cendekia hilang ditelan gemuruh suara kalangan pragmatis dan opurtunis, khususnya politisi dan kuasa modal.

Intelektual dan media sejatinya bahu-membahu menyuarakan kepentingan publik atau kemanusiaan. Di negara transisi seperti Indonesia, sinergi media, intelektual dan elemen masyarakat sipil lainnya amat dibutuhkan guna mendorong demokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan pemerintah kepada rakyat. Media dan intelektual juga menjadi suluh bagi masyarakat bangsa yang sebagian masih belum melek informasi.

Namun jika pers tidak lagi menjalankan fungsi kontrol sosial dan sarana pencerdasan masyarakat bahkan berkhianat pada nilai-nilai kebenaran berarti demokratisasi sudah kehilangan salah satu pilarnya dan bahkan mempengaruhi pilar lainnya. Kecenderungan kaum intelektual, misalnya, ketika gagasannya tak lagi diakomodasi pers, mereka diam dan apatis. Padahal (mengutip Julien Benda), kalau intelektual diam melihat kemungkaran atau ketidakbenaran di sekitarnya, maka ia telah melakukan pengkhianatan.

Bagaimanapun, proses demokrasi di daerah mesti dikawal terus. Mendorong profesionalisme pers merupakan salah satu upaya itu. Kita tak bisa hanya berharap, profesionalisme pers lokal akan tercipta dengan sendirinya, akibat sistem persaingan bebas yang mengkristalisasikan jumlah media. Profesionalisme pers hanya tercipta jika tidak terlalu bergantung kepada kuasa politik dan kuasa modal tertentu.

Sejalan dengan itu, menumbuhkan kelas menengah yang mandiri di daerah sangat dibutuhkan. Mereka diharapkan menjadi katalisator demokrasi. Kalau keberadaan elemen masyarakat sipil ini masih lemah, siklus distorsi demokrasi akan tetap terjadi. Implikasinya, kualitas pelayanan pemerintahan tetap buruk dan upaya memperbaiki kesejahteraan rakyat tidak akan berhasil. Pada gilirannya, tingkat kepercayaan masyarakat pada demokrasi pun bisa rusak.

(Dimuat di Harian Kontan, 13 November 2008)

Tinggalkan komentar