Menyoal Sekolah Antikorupsi

(Dimuat sebelumnya di KONTAN, 22 Desember 2008

Oleh: Israr Iskandar  dosen Universitas  Andalas dan fellow di CIRUS Jakarta

Belakangan ini kampanye antikorupsi secara terbatas memasuki ranah pendidikan. Beberapa instansi penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung (bekerjasama dengan Depdiknas), meluncurkan model “Sekolah Antikorupsi” dan “Kantin Kejujuran” di beberapa SMA di sejumlah kota.

Sebelumnya, beberapa daerah juga merintis kurikulum pendidikan antikorupsi yang kemudian dimasukkan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama. Beberapa kampus secara spesifik juga mulai mengajarkan mata kuliah antikorupsi untuk kalangan mahasiswa.

Pendidikan Watak

Pendidikan antikorupsi tentu sangat relevan sebagai upaya edukatif mendidik generasi muda yang berkarakter jujur dan bermoral baik. Tujuan pokoknya, mencegah berlanjutnya siklus korupsi di masa mendatang. Asumsinya, siswa dan mahasiswa yang menjadi sasaran program tersebut merupakan generasi masa depan yang diharapkan tidak meneruskan kebiasaan korupsi.

Tentu program ini saja tidak cukup untuk tujuan menghapus korupsi maupun menyiapkan generasi antikorupsi. Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah akut dan kompleks. Korupsi tak semata terkait buruknya sistem, tetapi juga memudarnya nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, kepedulian, kegigihan, kedisiplinan, keberanian dan tanggung jawab dalam masyarakat dan lingkungan pemerintahan.

Pendidikan antikorupsi merupakan kombinasi pendidikan watak dan kewarganegaraan (Buchori, 2007). Persoalan selama ini, sistem pendidikan tidak diarahkan untuk pembentukan watak yang kuat, termasuk terhadap masalah korupsi. Jejak rekam pendidikan nasional malah belum paralel dengan pemupukan nilai-nilai antikorupsi.

Pengenalan “kantin kejujuran” di sekolah-sekolah, umpamanya, dapat menjadi salah satu contoh sarana aktualisasi dan internalisasi nilai-nilai kejujuran sejak usia sekolah, selama kegiatan itu dijalankan secara sistematis, konsisten dan berkesinambungan. Pengajaran mata kuliah antikorupsi di kampus-kampus juga bisa diarahkan menjadi pendidikan karakter bagi calon-calon pemimpin masa depan.

Kalau berhasil, pendidikan antikorupsi di persekolahan sangat strategis, karena efeknya bisa ganda. Pada aras sosial, peserta didik diharapkan menjadi generasi yang kritis atas kecenderungan koruptif masyarakat. Pada tingkat keluarga, kalangan remaja paling tidak bisa menjadi “pengontrol” tendensi koruptif (sebagian) orang tua, seperti tercermin dari pemakaian fasilitas dinas (mobil, rumah, listrik, telepon, alat tulis, dll) untuk kepentingan pribadi/keluarga.

Tentu saja, untuk mencapai sasaran pokok di atas, pendidikan antikorupsi tak cukup di sekolah atau kampus saja. Pendidikan antikorupsi pada dasarnya sekolah kehidupan, untuk semua lini. Jika hendak menisbatkannya sebagai nilai luhur yang memasyarakat, antikorupsi mestilah menjadi “arus utama” pembangunan kebudayaan bangsa.

Lazimnya, proses menjadi koruptor melalui sosialisasi nilai-nilai yang “berlaku” di pelbagai pranata sosial. Seorang politisi korup, misalnya, tidak hanya dipengaruhi latar belakang pendidikan, pergaulan sosial/politik, dan realitas korup institusi-institusi negara, tetapi juga nilai-nilai “permisif” yang berkembang dalam lingkungan keluarga. Apalagi fakta, peran keluarga dalam mensosialisasikan nilai-nilai antikorupsi masih terbatas. Belum semuanya melek nilai-nilai antikoruptif. Masyarakat masih sulit membedakan urusan/kepentingan publik dan urusan/kepentingan keluarga.

Gerakan terpadu

Tentu saja, pendidikan antikorupsi hanya salah satu saja dari keseluruhan gerakan antikorupsi. Di manapun, antikorupsi sejatinya gerakan komprehensif dan integratif. Gerakan antikorupsi hanya bisa berhasil jika dilakukan paralel dengan penindakan hukum yang adil terhadap pelaku korupsi, pembangunan institusi penegak hukum, perbaikan sistem politik, dan pembangunan ekonomi yang adil dan merata.

Pembangunan institusi hukum menjadi agenda krusial, mengingat masih rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Aparat penegak hukum merupakan salah satu pilar utama pemberantasan korupsi. Selain melakukan tindakan penegakan hukum, bersama-sama elemen masyarakat lainnya mereka mestinya juga konsisten dengan program pencegahan berjangka panjang, seperti program pendidikan antikorupsi.

Paralel dengan itu, perbaikan sistem politik diikhtiarkan bakal meminimalisir kemungkinan pelbagai distorsi politik, termasuk korupsi. Korupsi yang melibatkan partai politik dan anggota parlemen, umumnya karena ketidakmandirian partai politik dalam pendanaan. Ini soal serius. Untuk pembangunan demokrasi yang sehat, masalah ketidakmandirian partai dalam pendanaan ini mesti dipecahkan.

Mengapa partai dan parlemen? Kedua institusi termasuk pilar utama pemberantasan korupsi dalam sistem integritas nasional (Pope, 2000). Partai dan parlemen yang kredibel bisa menjadi pengawas efektif terhadap kinerja eksekutif dan yudikatif. Sebaliknya, jika partai dan parlemen korup, mereka akan kehilangan legitimasi moral mengawas jalannya pemerintahan dan lembaga penegak hukum.

Pada akhirnya, gerakan antikorupsi terkait erat pembangunan ekonomi negara. Masalahnya, kalau krisis ekonomi dewasa ini tidak dikelola secara baik ke arah pemulihan, siklus korupsi bisa berlanjut, bahkan eksesif. Hanya dalam suasana pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, kemungkinan perbaikan sistem politik sebagai bagian reformasi kehidupan berbangsa dan bernegara bisa dilakukan secara sistematis.

Tinggalkan komentar