Parpol, Demokrasi dan Kemajuan Bangsa

Israr Iskandar, dosen sejarah politik Universitas Andalas Padang

(Dimuat di KONTAN, 3 Januari 2011)

Momentum pembaruan praktik demokrasi di Tanah Air kembali tertunda. Undang-Undang Partai Politik yang disahkan DPR beberapa waktu lalu dinilai tidak mampu mengubah secara fundamental kecenderungan distorsi partai politik dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Salah satu bagian krusial UU ini sebenarnya terkait pendanaan dan keuangan parpol. Dalam salah satu bagian disebutkan, batas maksimum sumbangan perusahaan kepada parpol secara institusi adalah 7,5 miliar rupiah. Dalam UU yang lama, batas maksimumnya “hanya” 4,5 miliar.

Klausul ini memicu resistensi di publik.  Membesarnya batas maksimum sumbangan ke parpol dikhawatirkan kian menyeret parpol secara institusi ke pangkuan pemilik modal dan petualang politik. Proses demokrasi bakal jadi  pasar politik tidak sehat, karena kompetisi politik gagal menegakkan prinsip keadilan, integritas dan kompetensi.

Absennya transparansi dan akuntabilitas pendanaan parpol tak hanya titik lemah, tapi juga cermin retak perpolitikan Indonesia.  Kondisi ini jelas menyandera pelaksanaan demokrasi.  Dinamika politik bahkan terasa makin tidak paralel dengan upaya mewujudkan cita-cita negara, yakni keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

 

Kepentingan Oligarki

Secara umum, kondisi parpol kita saat ini amat ironis. Di satu pihak parpol adalah sumber rekrutmen pemimpin politik yang akan mengisi jabatan-jabatan pemerintahan dari pusat hingga daerah, sementara di pihak lain kredibilitas pilar penting demokrasi ini justru kian parah.

Kredibilitas parpol tak hanya terkait keterbatasan SDM berkualitas, tapi juga (di atas itu) minornya integritas mereka.  Parpol belum sepenuhnya merepresentasikan kepentingan rakyat, tapi justru oligarki.   Selain mereka yang memiliki modal finansial dan hubungan “keturunan” (dinasti) politik tertentu, politisi yang berkiprah di parpol adalah para petualang politik yang cenderung berorientasi kepentingan sendiri atau kelompok sendiri (oligarki).

Sistem kepartaian justru lahan subur bagi berkembangnya politik dinasti sekaligus memberi jalan bagi para petualang politik yang cenderung bersekutu dengan pemodal yang berkepentingan dengan banyak kebijakan  publik. Dalam konteks organisasi, misalnya, tidak ada ketentuan adil dan objektif terkait syarat keanggotaan dan kepengurusan parpol dan rekrutmen caleg. Kenyataan itu menimbulkan kesan, parpol bukanlah habitus bagi para idealis yang pro kepentingan publik.

Terkait persekutuan pemodal dan politisi dalam kancah demokrasi memang bukan gejala spesifik negara demokrasi baru, seperti Indonesia. Relasi transaksional pemodal-politisi juga berlaku di negara demokrasi maju. Bedanya, di Indonesia, persekutuan politisi-pengusaha tanpa bingkai aturan main yang jelas sehingga cenderung merugikan kepentingan umum.

Celakanya pula, tendensi persekutuan politisi-pemodal tanpa kontrol memadai. Implikasinya tak hanya terindikasi dari siklus buruk perilaku politisi, tapi juga pelbagai bentuk kebijakan publik produk legislatif, eksekutif dan yudikatif yang cenderung pro kepentingan oligarki (politik dan ekonomi) dibandingkan kepentingan publik.

 

Penghambat Kemajuan

Sebagai sumber utama lapisan pemimpin, eksistensi parpol-parpol yang kredibel dan akuntabel sangat urgen. Parpol semacam itu akan jadi “dapur” bagi munculnya lapisan pemimpin amanah, progresif dan berkarakter negarawan.

Sebaliknya, parpol, sistem kepartaian dan pemilu yang korup akan menghasilkan wakil rakyat yang korup pula.  Anggota dewan yang suka plesiran ke luar negeri, terlibat banyak kasus korupsi dan asusila, lemahnya fungsi legislasi dan pengawasan dewan terhadap pemerintahan merupakan “muara” dari buruknya kinerja dan kredibilitas parpol.

Oleh karena itu, reformasi sistem kepartaian harus dilakukan secara mendasar. Reformasi sistem pendanaan parpol khususnya, mestinya dapat menjadi titik masuk yang penting.   Transparansi dan akuntabilitas dana parpol yang dimasalahkan tentu tak hanya terkait sumbangan resmi, tapi juga dana kampanye parpol dan politisi. Ini tentu juga terkait reformasi UU Pemilu yang mestinya juga diperbaiki secara mendasar. Sebab pengalaman pemilu lalu mengindikasikan berbagai kejanggalan dana kampanye sejumlah parpol, politisi dan capres,  sementara kualitas pengawasannya amat buruk.

Jika masalah-masalah mendasar itu tak diatasi secara baik, bangsa ini akan selalu menemui banyak kesulitan melangkah ke depan. Parpol dan sistem kepolitikan yang korup tak hanya menyandera demokrasi, tapi juga menghambat upaya-upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara maju dan berpengaruh, karena para pemimpinnya terus menciptakan siklus kebijakan  yang merugikan kepentingan rakyat dan negara.

Tinggalkan komentar